By Muhammad Subhan
(In Bahasa Indonesia)
Rencana pembangunan Pelabuhan Sabang menjadi pelabuhan internasional acap kali menjadi isu ‘panas’ di kalangan penduduk biasa, politikus, birokrat dan juga professional Aceh. Pelaksanaannya yang lambat sering menjadi luahan kekecewaan banyak orang, mulai dari isu pendanaan, kerjasama (baca MoU) dengan pihak luar, manajemen dan etos kerja pelaksana, koordinasi dan birokrasi, sampai ke isu teknis dan politis. Seringnya masalah ini diangkat dan dibicarakan menandakan hasrat dan kepedulian yang tinggi dari rakyat Aceh supaya pelabuhan ini segera direalisasikan.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang konsultan pelabuhan senior warga Australia yang bertugas di bawah payung UNDP mengawasi pembangunan pelabuhan ulee lheue tahun 2007 lalu. Saya sempat menanyakan kepadanya tentang potensi pelabuhan Sabang. Secara umum dia memberi gambaran bahwa Sabang kurang cocok untuk dijadikan pelabuhan besar karena kondisi topografi dan keluasan lahannya membuat kawasan Sabang sulit untuk dikembangkan pada masa depan. Singkatnya, dia dan mungkin juga banyak dari kita, agak pesimis tentang proyek pelabuhan bebas Sabang akan mampu berkembang dengan baik dan mensejajarkan diri dengan beberapa pelabuhan konteiner yang telah wujud di rantau ini seperti Pelabuhan Singapura dan Klang.
Sejarah dan pengalaman kontemporer telah membuktikan bahwa devisa atau pendapatan yang masuk melalui sektor pelabuhan adalah sangat besar dan menjanjikan jika ia dikelola dengan baik dan professional. Bahkan sebuah negara seperti Singapura dapat survive dan maju hanya bertopang pada industri pelabuhan dan aktifitas yang terkait dengannya. Kebanyakan kota-kota kaya dunia juga adalah kota-kota yang ekonominya bersumber dari pelabuhan yang kemudiannya menjadi kota maju dan modern. Selain Singapura, kota-kota seperti Hamburg, Hong Kong, Shanghai, Dubai, Rotterdam dan banyak kota lainnya di dunia adalah contoh-contoh kisah sukses kota besar yang menggantungkan ekonomi mereka pada pelabuhan. Jiran kita, Malaysia, kota-kota besar mereka seperti Kuala Lumpur, Johor Bahru dan Penang banyak bergantung aktifitas ekonominya dari pelabuhan. Malah di Indonesia sendiri, Jakarta dan Surabaya juga membesar karena banyak diumpani oleh pelabuhan-pelabuhan.
Sabang secara historis memang dikenal karena pelabuhannya. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, teluk Sabang telah melayani kapal-kapal besar dari Benua Eropah, Afrika dan Asia. Pertumbuhan ekonomi Sabang juga melesat tajam pada saat status Sabang masih sebagai pelabuhan bebas dan merosot drastis pada saat status tersebut dicabut di masa Orde Baru. Jadi, dari gambaran di atas nampak jelas bahwa rancangan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran Aceh melalui pembangunan pelabuhan barang adalah sesuatu yang sangat tepat dan sesuai. Lalu bagaimana dengan program pembangunan kembali pelabuhan bebas Sabang sekarang ini? Adakah Sabang berpotensi menjadi katalisator dan magnet pembangunan ekonomi Aceh ke depan? Tulisan ini ingin melihat dan mengupas beberapa sisi-sisi positif (potensi) Pelabuhan Sabang sebagai pelabuhan konteiner internasional di masa depan.
Secara geografis, Sabang terletak di pintu masuk bagian barat Selat Melaka yang merupakan salah satu laluan kapal paling padat dan tersibuk di dunia. Menurut beberapa sumber termasuk dari The Intenational Maritime Organization (IMO), Selat Melaka setiap tahunnya dilintasi oleh 50.000 - 60.000 kapal dimana lebih 30 persen daripadanya adalah kapal-kapal konteiner. Melihat situasi trafik lalulintas kapal-kapal ini, ia sebenarnya satu potensi penting bagi Sabang dari segi kedudukan geografisnya.
Selain faktor kedudukannya sebagai pelabuhan pintu masuk Selat Melaka, Sabang sebenarnya juga akan menjadi pelabuhan penting sebagai pelabuhan pintu masuk sebelah barat jika megaproyek Kra Canal yang akan membelah tanah genting Kra di Thailand jadi dilaksanakan. Walaupun megaproyek yang sudah direncanakan lebih 20 tahun ini masih diperdebatkan di Bangkok, namun jika kanal ini jadi dijalankan maka pelabuhan Sabang akan sangat diuntungkan dari segi lokasi geografisnya. Sabang akan menjadi pelabuhan penting bagi dua pintu masuk sekaligus yang menghubungkan dua rute pelayaran kapal konteiner dunia yaitu Selat Melaka dan Kra Canal dengan perkiraan 35 – 45 juta kontainer (TEU) akan melintas di depan perairan Sabang setiap tahunnya. Sungguh suatu potensi trafik perdagangan international yang sangat besar yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Apabila kita merujuk kepada teori konsumsi, dalam situasi normal, maka peningkatan permintaan barang akan senantiasa meningkat setiap tahun. Peningkatan jumlah permintaan barang ini tentunya akan dibarengi dengan peningkatan jumlah konteiner untuk mengangkut barang tersebut. Konsekuensi logis dari peningkatan jumlah kontainer adalah peningkatan jumlah kapal atau peningkatan kapasitas kapal untuk mengangkut kontainer tersebut. Ini dapat dilihat dari statistik beberapa pelabuhan di sekitar Selat Melaka seperti Pelabuhan Klang dan Tanjung Pelepas di Malaysia atau Pelabuhan Singapura. Selain disinggahi kapal-kapal konteiner ukuran gergasi, pelabuhan-pelabuhan tersebut juga membongkar muat jutaan konteiner setiap tahunnya. Sebagai contoh, jumlah konteiner yang dibongkar muat di ketiga pelabuhan tersebut pada tahun 2005 adalah 32,9 juta konteiner TEU (Twenty-foot Equivalent Unit yaitu konteiner ukuran standar 20 kaki). Angka ini naik secara signifikan pada 2006 menjadi 35,86 juta TEU. Rata-rata peningkatan setiap tahunnya adalah 3-5 juta TEU.
Sekarang ini saja sudah lebih 7000 kapal konteiner beroperasi di seluruh dunia mulai dari kapal ukuran kecil bermuatan 58 TEU, 226 TEU, 1100 TEU, 3000-6000 TEU sampai kapal superkonteiner yang dapat memuat 13300 TEU. Tahun-tahun mendatang menyaksikan kapal-kapal yang lebih besar akan diproduksi. Menurut Global Security Organization, sebelum tahun 2015, kapal konteiner dengan kapasitas 18000 TEU, lebar 60 meter dan draught (kedalaman tenggelam) maksimum 21 meter akan dihasilkan. Ini karena hasil riset yang dibuat memungkinkan kapal sebesar itu dihasilkan.
Bagi kapal-kapal besar, syarat kedalaman laut menjadi mutlak untuk menjaga keselamatan kapal dan juga laluan kapal. Lebar dan kedalaman laluan Selat Melaka adalah terbatas. Setelah peristiwa tsunami 2004 yang mencetuskan sedimentasi (pendangkalan) di beberapa titik Selat Melaka, maka kedalaman maksimum yang selamat untuk laluan kapal di Selat Melaka adalah 19,8 meter. Ini bermakna sekiranya kapal konteiner ukuran 18000 TEU siap diluncurkan, maka kapal ini tidak dapat secara langsung merentas Selat Melaka, tetapi perlu melakukan bongkar muat di pintu masuk Selat yaitu di Singapura atau Tanjung Pelepas di bagian timur atau pun di sekitar wilayah Aceh untuk bagian barat. Situasi seperti ini memberi keuntungan (potensi) bagi Pelabuhan Sabang untuk menjadi pelabuhan hub (penghubung) kepada pelabuhan-pelabuhan lain atau pelabuhan transhipment yaitu pelabuhan perantara bagi kapal-kapal besar. Potensi Sabang yang mempunyai kolam pelabuhan laut dalam secara alami (tanpa perlu pengerukan) adalah sangat menguntungkan untuk mengambil peranan sebagai pelabuhan transhipment ini.
Selain peranan sebagai transhipment port, Pelabuhan Sabang juga berpotensi menjadi pintu keluar masuk barang ekspor-impor Indonesia bahagian barat. Fungsi pelabuhan laut dalam melayani hinterland (kawasan darat) perlu dipertimbangkan. Sekarang ini, untuk melayani hinterland seluas pulau Sumatera baru ada pelabuhan konteiner Belawan, sedangkan hinterland Semenanjung Malaysia yang tidak lebih besar dari separuh luas pulau Sumatera dilayani oleh 5-6 pelabuhan konteiner besar yaitu Singapura, Tanjung Pelepas, Kelang (Utara dan Selatan), Penang, Laem Chabang dan beberapa pelabuhan lainnya. Itu belum termasuk kedatangan barang melalui kargo-kargo udara. Dari sini kita dapat lihat bahwa potensi Sabang untuk melayani hinterland Sumatera adalah sangat besar, apalagi jika ditambah dengan pemanfaatan kawasan kerjasama regional seperti IMT-GT yang beranggotakan 8 provinsi di Thailand, 8 negeri di Semenanjung Malaysia dan 10 provinsi di Sumatera, sudah tentu potensi Sabang akan menjadi lebih besar. Untuk ini berbagai kerjasama khususnya dengan beberapa pelabuhan utama di kawasan Selat Melaka yang sudah lebih dulu eksis perlu dilakukan.
Potensi-potensi tersebut di atas sebenarnya satu anugerah Allah dan ia akan tidak bermakna jika tidak dibarengi dengan usaha sungguh-sungguh semua pihak, terutama Pemerintah Aceh, untuk segera mewujudkan kawasan Sabang secara khususnya sebagai pelabuhan bebas dan perdagangan bebas. Ketersediaan struktur dan infrastruktur yang memadai dan cukup seperti energi (listrik), air bersih, telekomunikasi dan sistem informasi (IT), sistem transportasi dan distribusi, masalah lahan, peralatan dan perlengkapan (logistik) merupakan hal yang sangat vital. Selain itu, kebijakan dan peraturan perpajakan, investasi, dan birokrasi perizinan perlu dipermudah dan disederhanakan, malah sistem insentif perlu diterapkan; sistem sekuritas dan navigasi perlu ditingkatkan bersamaan dengan peningkatan profesionalisme semua penyelenggara pemerintahan di semua tingkat terutama yang terkait dengan manajemen dan operasional pelabuhan. Jangan sampai hal-hal yang sepele seperti penyerahan asset PT Pelindo ke BPKS saja memakan waktu lebih setahun yang mengakibatkan pelaksanaan pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan International Sabang jadi tertunda (Serambi, 15 Februari 2008).
Untuk lebih mengukuhkan kedudukannya dan mengeliminir berbagai hambatan pengembangan ke depan, maka pengembangan pelabuhan Sabang sebagai pelabuhan hub international mestilah satu paket yang terintegrasi dengan pengembangan tiga kawasan sekaligus yaitu kawasan Sabang sendiri, Banda Aceh dan Aceh Besar. Artinya, Pemerintah Aceh atau Dewan Kawasan Sabang (DKS) dengan BPKS tidak boleh hanya menumpahkan 100 persen perhatian dan pikiran, studi dan perencanaan, pendanaan dan sebagainya yang menyangkut pengembangan Pelabuhan Sabang ini hanya kepada pembangunan dermaga dan pergudangan di Teluk Sabang semata tetapi juga mempertimbangkan pengembangan beberapa pelabuhan dan pelayanan pendukung di wilayah ini sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Kalau semua itu tidak dilakukan, maka rencana membangun pelabuhan Sabang sebagai transhipment port atau hub international port seperti dikatakan oleh ketua BPKS dalam berita Serambi di atas hanya tinggal khayalan atau imaginasi belaka! Semoga tidak. Harapan rakyat Aceh: semoga pelabuhan tersebut segera terwujud dan dapat beroperasi secara baik dan professional.
(March 2008)
Read More......